HUTAN SOSIAL. Bapemperda Jateng saat berkunjung ke Dinas Kehutanan Jatim membahas soal perhutanan sosial, Senin (1/7/2019). (foto ayuandani cantika dwi purnama sari)
SURABAYA – Dinas Kehutanan Jatim meminta DPRD Jateng untuk mengkaji ulang Raperda Perlindungan dan Pemberdayaan Desa Hutan. Masukan itu disampaikan dinas saat Bapemperda DPRD Jateng berkunjung ke Kantor Dinas Kehutanan, Jalan Raya Juanda Sidoarjo, Senin (1/7/2019).
Pada kesempatan itu, Dinas Kehutanan Jatim menilai hal tersebut perlu dilakukan karena nantinya ditakutkan bisa terjadi tumpang tindih peraturan dengan pusat mengenai perhutanan sosial. Demikian disampaikan oleh Kepala Bidang Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (PDAS PS) Dinas Kehutanan Jatim Daryono Budi kepada Ketua Bapemperda Jateng Yudhi Indras Wiendarto. Ia menilai Raperda Perlindungan dan Pemberdayaan Desa Hutan, yang kini tengah disusun DPRD Jateng itu, justru akan melegalkan sesuatu yang tidak benar jika tidak dikaji lebih dalam.
“Banyak konflik sosial dan kasus yang sudah terjadi di Jatim mengenai hutan masyarakat. Salah satunya terbitnya SHM (sertifikat hak milik) dalam Hutan KPH (kesatuan pengelolaan hutan) di salah satu wilayah hutan Jatim. Ada kurang lebih 1.4254 hektare bidang tanah yang sudah di SHM. Sekitar 2015 sampai 2017, SHM itu diterbitkan dan diindikasikan ada manipulasi data yang dilakukan oleh Kepala Desa,” paparnya.

Ia juga mengatakan pihaknya sudah melakukan penangan dan tindak lanjut mengenai kasus tersebut. Salah satunya penyampaian keberatan atas diterbitkannya SHM ke Kantor Pertanahan oleh Kepala KPH setempat. Daryono berharap kasus itu tidak terjadi di Jateng karena berpotensi menimbukan gesekan dengan pemerintah pusat.
“Termasuk, pengawalan terhadap eksekusi pembatalan SHM dan akan kami lakukan pengukuran sekaligus tata batas pada lokasi yang dimaksud oleh Tim BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) sudah kami lakukan,” jelasnya.
Menanggapi hal itu, Yudhi Indras mengaku pihaknya kini sedang benar-benar mengkaji dan mendalami perda tersebut. Ia berharap perda itu bisa menjadi bukti keberpihakan Dewan kepada masyarakat.
Ia juga mempertanyakan mengenai Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Karena, perhutanan sosial itu merupakan wilayah kerja Perum Perhutani.
“Sesuai dengan P.39/MenLHK/Setjen tahun 2017, Perhutanan sosial itu kan merupakan wilayah kerja Perum Perhutani. Lalu, bagaimana kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat yang dilaksanakan di areal Perum Perhutani sesuai dengan permen tersebut,” kata Politikus Gerindra itu.

Menjawabnya, Daryono mengatakan selama ini melakukan pendelegasian kewenangan penerbitan hak/ izin perhutanan sosial kepada gubernur tapi dengan beberapa syarat dan ketentuan. “Syarat yang dimaksud itu seperti memasukan perhutanan sosial ke dalam RPJMD (rencana pembangunan jangka menengah daerah) atau mempunyai peraturan gubernur mengenai Perhutanan Sosial. Dan yang paling penting, harus memiliki alokasi anggaran untuk perhutanan sosial dalam APBD,” jawab Daryono. (ayu/ariel)