NARASUMBER: Anggota DPRD Jateng Peni Dyah Perwitosari menjadi narasumber dalam acara Media Tradisional di Wonosobo.(foto: cahya ayuningrum)
WONOSOBO – Tarian Hak-hakan sudah menjadi milik Dusun Kaliyoso, Desa Tegalombo, Kecamatan Kalijajar, Wonosobo. Dari desa itulah, lahir sebuah seni tari yang sudah diturun-temurunkan kepada anak cucu. Setidaknya sejak 1921 kesenian itu bermula.

Karena hanya ada di Desa Tegalombo, Ketua DPRD Wonosobo Eko Prasetyo HW dalam Dialog Media Tradisional DPRD Jateng “Kesenian Hak-hakan” tarian tersebut diharapkan bisa dipatenkan. DPRD pun telah meminta Dinas Pariwisata Wonosobo supaya bisa menjadikan Tari Hak-hakan menjadi ciri khas Desa Tegalombo secara khusus dan Wonosobo secara umum.
“Di Ponorogo ada reognya, di Wonosobo ada hak-hakan. Kami bersama pemerintah mendukung upaya pematenan ini. Media pun kami harap bisa mendukungnya,” ucapnya saat menjadi narasumber acara itu, Senin (22/8/2022).

Anggota DPRD Jateng Peni Dyah Perwitosari menjelaskan, tarian ini memiliki ciri khas. Selain tempatnya hanya ada di Desa Tegalombo, pementasannya pun hanya empat tahun sekali. Dengan demikian, tarian ini bagi warga desa benar-benar disakralkan.
“Sebenarnya pada 2019 saat kegiatan desa akan dipentaskan, namun karena ada Covid-19 maka selama dua tahun tidak bisa pentas,” ucap anggota Komisi B itu.
Tri Jatmiko selaku Kepala Desa Tegalombo menambahkan tarian ini sudah diturunkan dari generasi sebelumnya. Ia tidak mengetahui secara pasti kapan tarian itu muncul. Namun berkembangnya seni tari ini dari sejumlah penelitian sejak 1921.
Tarian ini menggambarkan warga desa mencari air untuk pertanian, kemudian mengalirkannya, selanjutnya bagaimana cara menggarap sawah, cara pemeliharaan pertanian, memetik hasilnya, membangun desanya dan sebagainya.
Untuk mementaskan Tari Hak-hakan, lanjutnya, tidaklah sesederhana. Terlebih dulu dilakukan dua keselamatan atau slametan.
Peni pun turut menambahkan tarian ini menggambarkan kegotongroyongan warga desa serta ada wujud syukur dari buah kerja mereka. Tentunya pemerintah harus mendukung segala upaya pelestarian kebudayaan. Dengan demikian pengembangan kesenian ini bisa memajukan perekonomian desa serta bisa menjadi destinasi pariwisata di Wonosobo.
“Harapan saya di Desa tegalombo ini bisa dibuat desa wisata walaupun bukan alam tapi bisa bersifat buatan seperti embung supaya desa wisata bisa menarik masyarakat untuk datang. Bicara kebudayaan tidak lapas dari pemersatu dimana masyarakat bisa guyub rukun untuk bersama-sama melihat kesenian. Kebudayaan menjadi perekat antarmasyarakat satu dengan yang lain. Kalau bisa pementasannya jangan empat tahun sekali sekali tapi setahun sekali. Insya Allah kami bantu dan support supaya tetap lestari,” kata dia.(cahya/priyanto)