KELOLA HUTAN. Komisi D DPRD Provinsi Jateng saat berkunjung ke Kantor Dinas ESDM Provinsi Banten, Selasa (14/1/2020), membahas soal penanganan pertambangan di sekitar kawasan hutan lindung. (foto choirul amin)
BANTEN – Pertambangan dan energi merupakan salah satu sektor terpenting dalam proses pembangunan di Jawa Tengah. Provinsi Banten dinilai salah satu provinsi yang kondisinya hampir mirip dengan Jateng.
Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jateng Hadi Santoso, saat bertemu dengan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Banten Eko Palmadi bersama jajarannya, Selasa (14/1/2020). Dalam kesempatan itu, Hadi berharap informasi yang diterima dari Dinas ESDM Provinsi Banten bisa menjadi bahan pertimbangan dalam proses berkoordinasi dengan pemerintah pusat sehingga penanganan pertambangan di sekitar kawasan hutan lindung bisa lebih baik lagi.
“Banten sendiri hampir mirip dengan Jateng dalam proses penanganan kawasan pertambangan yang masuk di kawasan hutan lindung. Kalau di Banten Gunung Halimun Salak, sedang disini ada Kawasan Gunung Merapi Merbabu,” jelas Legislator dari Fraksi PKS itu.

(foto choirul amin)
Saat ini, kata dia, Pemerintah menekankan aspek pengontrolan di kawasan hutan lindung yang dibebankan ke pemprov. Padahal, penetapan kawasan hutan lindung menjadi wewenang pemerintah pusat.
“Kami berkoordinasi agar penegakan aturan terkait dengan pemanfaatan lahan ini bisa ada kesamaan antara Pemprov Banten dan Jateng. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus disesuaikan ke depannya,” katanya.

(foto choirul amin)
Sementara, Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jateng Alwin Basri mempertanyakan soal proses penambangan yang terjadi di kawasan hutan lindung Gunung Halimun Salak yang masih berlangsung sampai sekarang. Hal itu ditanyakannya karena lokasinya masuk dalam kawasan hutan lindung.
Menanggapi hal itu, Eko Palmadi mengungkapkan selama ini pihaknya masih terus berkomunikasi dan bersosialisasi dengan berbagai pihak, bahkan sampai mengirimkan surat ke Kementerian. “Kami sebagai regulator dan sebagai penengah antara masyarakat dan pengusaha. Karena, pastinya yang mereka tuntut adalah CSR-nya. Untuk itu, kami jalin komunikasi dengan masyarakat sekitar situ, pengusahanya, dan beberapa LSM,” kata Eko.

Hal terpenting, menurut Eko, tentang pengamanan hutan. Oleh karena itu, pihaknya meminta surat rekomendasi dari pemkot atau pemkab dalam hal pendirian lokasi usaha yang sesuai dengan Undang Undang Tata Ruang dan perizinan dari sektor lingkungan oleh pemkab/ pemkot.
“Soal wewenang, memang lokasinya adalah daerah Taman Nasional. Karena kewenangan di pusat, kami tidak bisa melakukan apapun di dalam kawasan tersebut karena harus ada izin dari menteri,” pungkasnya. (amin/ariel)