KUNJUNGAN KERJA : Ketua Komisi E Abdul Hamid memimpin kunjungan kerja di Panti Pelayanan Sosial “Wanodyatama” Surakarta, sebelumnya berkunjung ke Panti Pelayanan Sosial Anak “Taruna Yodha” Sukoharjo.(foto: priyanto)
SURAKARTA – Keberadaan panti sosial patut mendapatkan perhatian serius. Sejauh ini kebijakan anggaran dinilai belum berpihak secara keseluruhan kepada pelayanan panti. Antara kebutuhan dan anggaran ada ketimpangan. Inilah yang menjadikan keberadaan pelayanan panti sosial tak bisa optimal.

Seperti pada kunjungan Komisi E DPRD ke Panti Pelayanan Sosial Anak “Taruna Yodha” Sukoharjo dan Panti Pelayanan Sosial “Wanodyatama” Surakarta, Selasa-Rabu (27-28/2/2024). Kendala optimalisasi dari pelayanan kedua panti itu adalah soal keterbatasan anggaran. Di sisi lain kebutuhan yang digunakan terbilang besar, mulai dari kebutuhan operasional sampai pada belanja rutinitas.

Ketua Komisi E Abdul Hamid mengakui masalah pengelolaan panti terbilang dilematis. Namun demikian pemerintah harus hadir, sehingga mau tidak mau, pelayanan panti harus optimal di tengah keterbatasan anggaran.
“Secara fisik, sarana dan prasarana kita bisa. Evaluasi mestinya dilakukan setiap tahun. Kita utamakan pelayanan dari negara untuk masyarakat atau penerima bantuan. Karena ini jarring pengaman sosial terbawah, yang tidak terakomodaasi. Harapannya panti sosial apalagi milik pemerintah pelayanan bagus, sehingga memaksimalkan pelayanan,” jelasnya.
Kabid Rehabilitasi Sosial Isriadi Widodo menyatakan, pemerintah perlu mengevaluasi keberadaan panti. Saat ini Dinas Sosial Jateng memiliki 27 panti pelayanan sosial. Dari keberadaan panti tersebut mengakui anggaran belum bisa mengcover secara keseluruhan kebutuhan panti.
Kepala Panti Pelayanan Sosial “Wanodyatama” Surakarta Sutrisnawati, menyatakan, selama ini pihaknya berkegiatan sesuai dengan program rutin yang dijalankan. Untuk perempuan binaan diberi keterampilan menjahit, tata kecantikan, dan tata boga. Selama ini penghuni binaan tidak lebih dari 100 orang. Sekarang ini jumlahnya ada 53 orang terdiri atas wanita tunasusila ditambah anak jalanan perempuan.
“Aggaran yang minim untuk panti sebenarya tidak juga dirasakan oleh panti milik provinsi. Sejumlah daerah memiliki kesamaan serupa. Bahkan jumlah binaan yang kecil, salah satu penyebabnya tidak ada anggaran yang dimiliki daerah untuk mengirim wanita ke Solo. Pegawai atau staf itu, secara fisik tidak boleh mencari perempuan. Mereka harus diantar oleh pihak penanggungjawab,” kata dia.(priyanto/ariel)
Dia meminta kepada Komisi E supaya kebijakan politik ada yang memperhatikan masalah panti. Sebagaimana diungkapkan Abdul Hamid, panti sosial merupakan jaring pengaman sosial terbawah. Negara harus hadir di tengah-tengah masyarakat.








