PIMPIN AUDENSI : Ketua Komisi B Sarno saat memimpin audensi antara perwakilan DPD Asita Jateng dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.(foto: setyo herlambang)
GEDUNG BERLIAN – Industri tur dan travel di Tanah Air belum memperlihatkan peningkatan. Selepas pandemi Covid-19 sampai sekarang ini masih dibilang mati suri. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan kepala daerah supaya kegiatan tur studi ditinjau ulang supaya tidak memberatkan orangtua siswa.

Penegasan tersebut mencuat dalam audensi antara perwakilan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Jawa Tengah saat mengadukan nasib agensi ke Komisi B DPRD Jateng, Jumat (28/7/2023).
Perwakilan DPD Asita Jateng, Alex Gunarto menyatakan, sejumlah agensi sekarang ini tidak bisa berbuat banyak. Adanya kebijakan kepala daerah melarang kegiatan tur studi menjadikan pendapatan mereka menurun. Kondisi tersebut berimbas objek wisata pun jadi sepi karena kunjungan wisata dari siswa SMA/K/SLB negeri di Jateng diperketat.
“Sejumlah agen perjalanan (travel agency) sudah mulai kembang-kempis. Saat Covid-19 sudah banyak yang gulung tikar, sekarang setelah pandemi berakhir malah ada kebijakan kepala daerah yang memperketat tur studi. Ini membuat kami benar-benar kesulitan usaha,” ucapnya.
Perwakilan Asita di 34 provinsi juga menyayangkan kebijakan tersebut karena beberapa potensi wisata di daerah lain yang seharusnya mendapat kunjungan rombongan wisata SMA/K Negeri di Jateng jadi sepi pengunjung dan pendapatan mereka juga ikut menurun.
Diharapkan masalah ini cepat dapat terselesaikan dengan bantuan dari anggota legislatif bersama instansi terkait sehingga baik para siswa bisa menikmati kembali program tur studi. Alex juga menekankan mengenai soal pungutan. Sekarang ini kepala daerah melarang kepala sekolah menggelar tur studi bila memungut biaya dari siswa. Pihak sekolah pun akhirnya mengembalikan dana yang sudah dikumpulkan kepada siswa. Pihak agensi pun jadi rugi.
Ketua Komisi B Sarno mengaku prihatin mengenai polemik tersebut. Diakuinya, sekolah tanpa memungut biaya dari siswa patut mendapatkan apresiasi. Hanya saja bila semua kebijakan dipukul rata tentu akan membawa dampak negatif. Masalah tur studi, lanjut Sarno sebenarnya masih bisa didialogkan terutama dalam komite sekolah.
“Memang adanya program sekolah gratis, sangat membantu siswa agar meringankan biaya pendidikan namun apabila sampai melarang adanya kegiatan tur studi atau study tour untuk meminimalisir pungutan liar maka akan menjadi salah kaprah. Malah akan membuat problematika baru, seperti banyak agency travel kesulitan dalam segi keuangan selain program kegiatan belajar siswa luar sekolah juga ikut terganggu yang semestinya para siswa dapat bertandang ke universitas di lain daerah juga tidak dapat terlaksana,” terang dia.

Menanggapi, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng Syamsudin Isnaini mengatakan, kebijakan sekolah gratis juga merambah agar tidak terjadinya pungutan liar (pungli) di SMA/K dengan dalih apa pun. Terlebih mengenai tur studi atau study tour akan membuat ketimpangan bagi siswa yang tidak mampu atau berada di garis kemiskinan. Maka untuk menghindari adanya ketimpangan maka kegiatan study tour ditiadakan walaupun panitia terdiri dari komite sekolah atau orang tua / wali murid.
“Salah satu cara menekan masalah ketimpangan di SMA/K Negeri adalah meniadakan subsidi silang, karena untuk menghindari cara potensi bullying bagi penerima subsidi silang. Walaupun, pengumpulan dana atau iuran dilakukan secara kolektif oleh orang tua / wali murid tetap pihak sekolah akan menekan agar dihentikan dan dana dikembalikan ke siswa masing-masing. Mungkin adanya usulan atau aspirasi soal kembali diadakannya study tour akan menjadi bahan evaluasi dan pertimbangan terkait peraturan daerah yang mengatur masalah tersebut,” tanggapnya.(tyo/priyanto)








