DISKUSI BAHASA. Sukirman dalam kegiatan ‘Sosialisasi Layanan Kebahasaan dalam Peraturan Perundang-undangan’ diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jateng di Hotel Grandhika Semarang pada Rabu (27/7/2022) malam. (foto setyo herlambang)
SEMARANG – Redaksional penggunaan tata bahasa penyusunan perundang-undangan dan surat menyurat dalam lingkup lembaga pemerintah masih jauh dari kata baik. Sehingga, perlu pembinaan dan edukasi pendampingan penyusunan tata kebahasaan agar penerapan peraturan yang diterbitkan pemerintah dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jateng Sukirman saat menjadi narasumber dalam rangkaian ‘Sosialisasi Layanan Kebahasaan dalam Peraturan Perundang-undangan’ diselenggarakan oleh Balai Bahasa Jateng di Hotel Grandhika, Jalan Pemuda Kota Semarang, pada Rabu (27/7/2022) malam. Dalam kegiatan itu, turut hadir Kepala Balai Bahasa Ganjar Harimansyah, Kabag Perundang-undangan Biro Hukum Setda Jateng Hariyono Widiyanto, dan Praktisi Bahasa Badan Riset Inovasi Nasional Wisnu Sasangka.

“Penggunaan tata bahasa dan ejaan yang disempurnakan dalam lingkup instansi lembaga pemerintah jauh dari kata baik dan masih sering ditemukan kata-kata ambigu sehingga dalam konsep pelaksanaan peraturan daerah tidak terlaksana secara penuh. Maka, akan menjadi komitmen bersama baik secara politik dan umum, pendampingan serta edukasi dalam penyusunan perundang-undangan harus tersusun dengan baik dan lugas. Diharapkan, pelaksanaan program seperti ini dapat menghidupkan kembali penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar di seluruh sektor, baik formal maupun non-formal,” tutur Legislator PKB itu.
Menambahkan, Kepala Balai Bahasa Ganjar Harimansyah mengungkapkan keprihatinannya karena selama ini banyak lembaga pemerintah belum bisa menerapkan secara penuh tata bahasa karena mengacu Perpres Nomor 63 Tahun 2019 tentang penggunaan Bahasa Indonesia dalam peraturan Perundang-undangan. Penggunaan Bahasa Indonesia secara baik dan benar tentunya mendorong masyarakat untuk lebih sering diterapkan karena saat ini banyak terpengaruh penggunaan trend bahasa asing disisipkan dalam keseharian.

“Sudah semestinya, sektor pemerintah dalam penerapan penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kaidah yang tepat dan sesuai. Mengingat hal tersebut sudah tercantum dalam Perpres Nomor 63 Tahun 2019 semestinya harus tersampaikan dengan lugas, yang akan diterbitkan dan diterapkan ke seluruh elemen masyarakat. Penggunaan secara tepat tentunya akan mendorong masyarakat bisa mengikuti apa yang diterapkan pemerintah dan penggunaan kaidah Bahasa Indonesia secara baik dan benar bisa diterapkan secara luas juga menyeluruh,” kata Harimansyah.
Sementara, Kepala Bagian Perundang-undangan Biro Hukum Setda Provinsi Jateng Hariyono Widiyanto mengatakan. dalam penerapan tata bahasa perundang-undang, seringkali ditemukan problematika mulai dari proses formil hingga substansi. Dari kondisi itu, ia menilai perlu adanya optimalisasi regulasi daerah yang mengatur dalam penerapan tata bahasa yang baku dan unsur nilai kebudayaan lokal yang masih sangat dijunjung tinggi di setiap daerah.
“Problematika dalam penggunaan tata bahasa perundang-undangan seringkali terbentur beberapa proses. Seperti proses formil lebih sering terbentur dengan perumusan pasal secara tepat dan belum terlibatnya ahli bahasa khusus dalam penyusunan peraturan daerah yang sedang dirancang. Sedangkan unsur substansi lebih terkendala lewat bahasa hukum acap kali berubah-ubah dan sering ditemukan adanya penafsiran ganda. Memang, sudah seharusnya ada regulasi khusus penggunaan bahasa secara optimal dan penyesuaian dengan nilai muatan lokal daerah agar bahasa baku dan bahasa serapan lokal tidak tercampur,” harap Hariyono.
Sedangkan, Praktisi Bahasa Badan Riset Inovasi Nasional Wisnu Susangka lebih menekankan bahasa peraturan perundang-undangan harus tunduk kaidah tata Bahasa Indonesia dan memiliki corak tersendiri karena harus jelas sesuai dengan kebutuhan hukum. Penyusunan kalimat juga harus efektif dan tidak ambigu sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam penerapan perundang-undangan.
“Sudah seharusnya praktisi bahasa ikut terlibat dalam penyusunan perundang-undangan agar sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yang baku dan setiap corak bahasa hukum. Selain itu, bisa disesuaikan dengan ejaan serapan yang baru. Penyusunan tata kalimat perundang-undangan baik bersubjek, berpredikat, maupun penggunaan kalimat efektif bisa tersusun. Karena, dalam penerapannya di masyarakat, bisa tersampaikan secara luas dan dilaksanakan secara benar dan sesuai yang tercantum dalam isi peraturan pemerintah yang diterbitkan,” jelas Wisnu. (setyo/ariel)