BICARA PERMAINAN ANAK: Anggota DPRD Jateng St Sukirno bersama narasumber lain membicarakan masalah dolanan (permainan) anak di Surakarta.(foto: dewi sekarsari)
SURAKARTA – Permainan anak atau dolanan anak mengandung sebuah filosofi yang kuat dalam pembentukan karakter pada anak terutama untuk budi pekerti. Kejujuran, hormat-menghormati serta kompetisi semua ada. Sayang, seni dolanan anak itu redup seiring dengan permainan yang digantikan oleh kecanggihan gawai.

Anggota DPRD Jateng Stephanus Sukirno menuturkan kegelisahannya itu dalam acara “Media Tradisional : Nguri-uri Kesenian Tradisional Khas Surakarta Pentas Dolanan Anak”, Sabtu (18/6/2022).
“Sekarang jarang ada keramaian anak-anak bercanda, bersenda gurau di lapangan atau di tempat terbuka sambal bermain engklek, petak umpet atau bentengan. Yang ada mereka berkumpul, asyik sendiri-sendiri dengan gawainya,” tuturnya.

Malam itu di halaman Ndalem Djojokoesoeman (baca: Joyokusuman), Kelurahan Gajahan, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta, sejumlah bocah berkumpul. Ada yang bermain engklek, congklak atau dakon, gangsingan, rangku alu (loncat bamboo) dengan riang gembira di salah satu rumah priyayi milik Keraton Surakarta dibangun pada 1878.
“Dolanan anak juga ada nilai kuat yang dikandung yakni rasa unggah-ungguh kepada orang yang lebih tua. Tata nilai tersebut oleh Soekarno digali menjadi lima sila yang disebut Pancasila yang merupakan dasar dari Indonesia,” kata anggota Komisi A.

Selain itu, permainan anak juga terdapat nilai kemanusiaan, kebangsaan dan kebangkitan. Semua bermula dari kesenian ini yang menurut kita ini dikatakan tradisi yang perlu kita lestarikan supaya masa mendatang bisa mengerti makna dari kesenian dolanan anak.
“Kesenian itulah mengajarkan mengucap dimana negara membutuhkan kejujuran. Tujuan dolanan anak ini diadakan adalah untuk mengenalkan dan melestarikan dolanan tradisional, mengembangkan kesadaran bahwa dolanan anak dan tradisional sebagai warisan budaya, dan menanamkan pendidikan karakter lewat dolanan anak,” tuturnya.

Senada, pelaku seni, Agung Kusuma Widagdo menjelaskan rasa yang ditanamkan kepada anak-anak mempunyai rasa toleransi dan kejujuran mereka.
Supaya kesenian dolanan anak ini tidak punah harus ada kerja sama dengan dinas terkait maupun dengan sanggar-sanggar yang melatih. , karena tidak adanya sanggar sekolah seni pun akan kosong.

Wiyono sebagai budayawan pun menganggap seni dolanan anak merupakan poros, seluruhnya terkandung banyak emosional, cita-cita serta unggah-ungguh semua ada di kesenian tradisional ini.
“dekorasi dan berbagai macam cara bisa menghidupkan dolanan anak, itu dia mempelajari kesenian dolanan anak nusantara. salah satu saling menghargai, toleransi yang akan terbentuk disitu,” ucap Wiyono.
Di situ ada semua wujud dari Pancasila, nilai yang terkandung dalam dolanan anak sebetulnya luar biasa. Ini merupakan salah satu kekayaan budaya, banyak hal kekayaan yang luar biasa tetapi tidak pernah terpakai,” imbuhnya.(anif/priyanto)