Sri Hartini. (foto humas)
GEDUNG BERLIAN – Meski pada 2019 lalu angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jateng menurun, namun jumlah kasus tersebut harus terus ditekan. Dengan begitu, tindakan kekerasan itu bisa lambat laun terhenti di Jateng.
Hal tersebut merupakan salah satu pemicu yang mengerakkan DPRD Provinsi Jateng untuk menyusun rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak. Menurut Anggota Panitia Khusus (Pansus) Raperda Sri Hartini perlindungan terhadap perempuan dan anak itu selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangankan. Meski di satu sisi topik tersebut terkesan memposisikan perempuan dan anak sekedar sebagai objek untuk dilindungi.
“Kita mengetahui bahwa bentuk kekerasan tidak hanya aspek fisik seperti pemukulan dan penganiayaan, melainkan juga aspek psikologis dan seksual. Aspek psikologis seperti tindakan yang menjadikan orang lain merasa tidak nyaman, tertekan, dan tidak percaya diri untuk berekspresi. Kekerasan seksual merupakan tindak penyerangan atau kekerasan yang bersifat seksual, baik terjadi persetubuhan maupun tidak,” jelas Politikus Gerindra itu, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (4/6/2020).

Menilik data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jateng, lanjut dia, angka kekerasan perempuan dan anak pada 2017 sejumlah 1.869 kasus, meningkat pada 2018 menjadi 1.883, dan menurun pada 2019 menjadi 1.406 kasus. Ia mengakui, dalam masyarakat budaya patriarkal, perempuan rentan mengalami kekerasan, terlebih peranannya yang sering dianggap sekunder dibanding laki-laki dan lemah secara fisik.
Untuk itu, kata dia, Negara sebagai institusi tertinggi dalam tatanan masyarakat mempunyai tanggungjawab mewujudkan keamanan dan kemaslahatan warganya, termasuk perlindungan terhadap perempuan dan anak. Wujud kehadiran pemerintah dalam ruang itu adalah dengan dibentuknya peraturan, kebijakan dan program-program guna terwujudnya keamanan bagi setiap individu maupun kelompok warga negara.
“Meski demikian, tentu belum menjamin hilangnya semua bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sebagai seorang istri dan ibu, saya menyampaikan upaya melindungi dan menangani tindak kekerasan haruslah dimulai dari diri kita sendiri dan keluarga. Karena keluarga merupakan ‘institusi’ terkecil dalam negara,” jelasnya.
Dikatakan, selain pemerintah yang secara kelembagaan harus menjamin keamanan masyarakatnya, keluarga juga berperan dalam mereduksi dan menangani berbagai bentuk kekerasaan. Bahkan terhadap sesama, antar umat manusia.
“Inilah wujud kesadaran dari sinergi antara keluarga dan negara dalam membangun bangsa,” pungkasnya. (ariel/priyanto)