KUNJUNGAN KERJA. Jajaran Komisi C bertemu dengan pimpinan manajer
Bank Jateng Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Boyolali, Senin (29/4/2019).(Foto: Sunu AP)
BOYOLALI – Komisi C DPRD Jateng memberikan pemakluman kepada kinerja Bank Jateng Syariah Kantor Cabang Pembantu (KCP) Boyolali karena hingga tahun buku 2018 masih merugi Rp 1 miliar.
Karena itulah, Komisi C berharap pada operasional tahun ketiga (2019) ini tidak lagi merugi dan dapat membukukan laba. Demikian diungkapkan anggota Komisi C Muhammad Rodhi saat memimpin komisi melakukan kunjungan kerja ke bank tersebut, Senin (29/4/2019).
Bank Jateng Syariah KCP Boyolali mulai beroperasi November 2016 dan efektif “menyapa” nasabahnya mulai 2017. Dikelola oleh hanya 14 personel, hingga tutup buku tahun 2018 lalu bank pelat merah ini memiliki aset Rp 33,2 miliar baru mengumpulkan dana masyarakat sebanyak Rp 29,3 miliar dan mengucurkan pembiayaan Rp 27,0 miliar. Akibat tingginya biaya operasional (115,54%) pada awal operasionalnya, bank ini mengalami kerugian Rp 1,05 miliar. Sementara per Maret 2019, kinerjanya mulai meningkat dan mampu mencatatkan laba sebesar Rp 1,18 juta atau 7,1% dari rencana bisnisnya yang menarget laba Rp 165 juta pada triwulan I tahun ini.
“Kami (Komisi C) melihat ada perkembangan yang cukup bagus setelah merugi tahun lalu. Yakni, seluruh pembiayaan yang dikucurkan memiliki tingkat pengembalian 100%, alias rasio pembiayaan yang bermasalah nol persen,” kata Rodhi, politikus Partai Keadilan Sejahtera itu.
Lebih lanjut dia mengatakan, sebenarnya potensi pembiayaan syariah masih besar di Boyolali, asal mau merangkul usaha skala mikro dan kecil. Alih-alih memberi akses perbankan kepada kalangan usaha rumahan atau skala mikro dan kecil, tapi sekalgus membebaskan mereka dari rentenir. “Sehingga dari sisi bisnis perbankan bisa menjadi perluasan usaha, dan dari sisi syariah menyelamatkan mereka dari cengkeraman rentenir,” ujarnya.
Persoalannya menjadi klasik, jelas Rodhi, ialah tinggal mau atau tidak mengingat usaha kecil dan rumahan atau kalangan pedagang pasar yang sangat akrab dengan kalangan pengganda uang (rentenir) tersebut bisanya tidak menarik karena membutuhkan penanganan yang rumit.
“Ya kalau Bank Jateng pastinya yang besar yang kakap. Yang kecil dan kelas rumahan itu bisanya dianggap pasarnya bank perkreditan,” kilahnya. padahal mereka itu, para pedadang kecil, pedagang pasar, usahawan kelas rumahan, semuanya mampu mencetak laba yang tinggi meski volumenya rendah atau kecil.(sunu/priyanto)