KUNJUNGAN KEMENDAGRI : Jajaran Komisi A bermama Direktorat Produk Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).(foto: ayuandani)
JAKARTA – Dalam rangka penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Penyiaran , Komisi A DPRD Provinsi Jawa Tengah mengunjungi Direktorat Produk Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin (7/2/2022).

Dalam kunjungan yang diterima Kasi Produk Hukum Daerah Wilayah Jawa Tengah Ali Bahteradi, Ketua Komisi A Muhamad Saleh menjelaskan pihaknya sedang menginisiasi peraturan tentang penyiaran. Hanya saja saat ini, UU No. 32/2002 tentang Penyiaran masih dalam proses revisi. Terlebih lagi, pemerintah juga sudah mengesahkan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja yang ternyata masih bermasalah. Mengenai perizinan yang masuk dalam UU Cipta Kerja dalam penerapan di daerah pun juga masih belum pasti. Terlebih pada masalah konten muatan lokal yang belum bisa dilaksanakan secara tegas oleh daerah.
“Raperda Penyelenggaran Penyiaran ini nantinya juga akan mengatur tentang media sosial yang mana saat ini banyak radio sudah melakukan streaming melalui media sosial dan ternyata memang belum tercover di UU penyiaran. Keresahan kami di daerah ini, tidak ada satupun lembaga yang bisa mengawasi, sehingga dampaknya sangat luar biasa bagi masyarakat. Kami berharap dengan adanya Perda tentang Penyelenggaran Penyiaran di Jawa Tengah nantinya akan bisa menjadi payung hukum bagi semua pelaksananya dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum,” kata Politikus Golkar itu.

Senada, Anggota Komisi A Sururul Fuad juga menanyakan mengenai sanksi administrasi ataupun pidana yang diatur dalam Perda. Sedangkan ruang lingkup dalam perda pun, pihaknya juga tidak mengetahu pasti karena memang hal tersebut adalah wewenang pusat.
“Kami juga masih bingung, boleh tidak didalam perda itu kami mengatur sanksi, baik administrasi hingga pidana. Karena hingga saat ini pun ruang lingkup yang akan kami masukkan ke perda pun masih gamblang, kami masih menunggu UU No.32/2002,” kata dia.
Menanggapi hal itu, Ali menjelaskan perda penyiaran ini memang rujukannya adalah UU 32/2002. Menjadi dilematis karena munculnya media-media baru yang basisnya adalah jaringan internet. Sehingga memungkinkan jika perda penyiaran yang akan disusun nantinya untuk memasukkan konten lokal. Mengingat “new media” saat ini tidak bisa dibatasi, penyebarannya lebih cepat, dan perhatiannya hanya jika ada laporan dari publik.
“Namun konten muatan lokal itu bisa dijabarkan agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum, DPR RI berkomitmen menyelesaikan revisi UU Penyiaran pada tahun 2022 ini. Di dalam UU penyiaran yang baru, harapannya pemerintah dapat mengatur media baru yang selama ini memanfaatkan platform internet. Bukan hanya persoalan dampak yang ditimbulkan, akan tetapi berkaitan juga dengan keadilan berusaha, pendapatan pemerintah,” kata dia.(ayu/priyanto)