NARASUMBER : Ketua Komisi A Muhammad Saleh (dua kiri), Ketua KPID Jateng Muhammad Aulia, dan Agung Kristiyanto dari Dinkominfo Jateng. (foto: dewi sekarsari)
SURAKARTA – Anggota Parlemen Remaja sepakat akan pentingnya penanaman literasi digital bagi semua elemen masyarakat. Dengan demikian pola bermedia digital dapat menjunjung etika serta tata krama sehinga tidak ada hoaks, ujaran kebencian.
Seperti dilontarkan Dyah Puspita, siswa SMK 2 Wonogiri melalui virtual dalam acara Talkshow Empat Pilar Kebangsaan “Literasi Digital Generasi Milenial” yang disiarkan dari Hotel The Sunan, Surakarta, Kamis (14/10/2021).

Menurutnya literasi digital sangat positif dalam memberikan pemahaman kepada pelajar serta mahasiswa. Baginya media sosial sekarang ini menjadi sebuah kebutuhan terutama ada ruang berinteraksi antarsesama. Munculnya hoaks dan ujaran kebencian perlu dilawan.
“Untuk bisa melawan tentu perlu pemahaman dalam berliterasi media. Apa yang boleh di-share, batasan mana yang tidak boleh,” ucapnya.
Pun disampaikan Oki Satria Wibawa, SMK 7 Semarang. Sebagai bagian dari generasi milenial dengan media sosial ia sendiri mengaku perlu ada pemahaman bagi dia dan teman-teman seusianya.
Menyikapi semua, narasumber yang hadir seperti Ketua Komisi A DPRD Jateng Muhammad Saleh, Ketua Komisi Penyiaran Informasi Daerah (KPID) Jateng Muhammad Aulia dan Kabid Informasi dan Komunikasi Agung Kristiyanto sepakat perlu ada literasi digital.
Saleh mengungkapkan, proses digitalisasi pada era sekarang ini menjadi sebuah keniscayaan. Kementerian Kominfo pun turut mulai melakukan literasi digital. Dalam peta jalan (roadmap) pusat, ada empat pilar literasi yang penting untuk mengenalkan dan memberikan pemahaman mengenai perangkat teknologi informasi dan komunikasi, yaitu kemampuan digital (digital skill), budaya digitan (digital culture), etika digital (digital ethics), dan keamanan digital (digital safety).
“Pengguna media sosial harus mengerti apa itu literasi digital. Batasan mana yang boleh atau tidak untuk diunggahkan. Penting pula adalah etika atau tata krama dalam ruang digital,” ucapnya.
Sementara Aulia menjelaskan, penyiaran publik dengan media sosial sebenarnya berbeda. KPID secara kelembagaan bisa mengatur masalah penyiaran melalui UU Penyiaran termasuk sanksi apa yang didapatkan bila melanggar. Sementara pada media sosial sepenuhnya diatur UU ITE dan menjadi ranah Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) serta kepolisian.
“Kami sependapat pentingnya literasi digital. Dalam penyiaran siapa dan apa menjadi jelas. Di televisi atau radio kami bisa menegur. Di media sosial jadi tidak kelihatan. Media digital itu memilih market yang berbeda. Contoh ada salah satu acara televisi yang turut diunggah di media sosial. Unsur seru, saru dan seram muncul. Juga patut dipelajari, apakah literasi digital sudah menjadi sepahaman,” ungkapnya.
Agung turut menambahkan, muncul adagium jarimu harimaumu. Orang mudah membagikan konten-konten, tidak tahu batasan mana yang boleh dan tidak untuk di-share (bagi). Maka itu dia sependapat dengan ungkapan saring sebelum share,” ucapnya.(cahya/priyanto)