LINDUNGI ANAK. Ahmadi saat mengisi acara ‘Pelatihan Media Sensitif Gender bagi Pegiat Media’ di Hotel Atria Kabupaten Magelang, baru-baru ini. (foto teguh prasetyo)
MAGELANG – Identitas anak korban kekerasan seksual harus benar-benar dijaga. Demikian disampaikan Wakil Ketua DPRD Jateng Ahmadi, saat mengisi acara ‘Pelatihan Media Sensitif Gender bagi Pegiat Media’ di Hotel Atria Magelang, baru-baru ini.
Pada kesempatan itu, ia menjelaskan hal tersebut perlu dilakukan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu, upaya tersebut juga dilakukan agar anak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrimisasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
“Anak korban perkosaan hendaknya diberikan perlindungan dari media massa. Kenyataannya, sering sekali dijumpai di media massa yang memberitakan berita anak korban perkosaan. Pemberitaan media massa tersebut menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap anak korban perkosaan,” kata Politikus PKS itu.

Ia juga mengatakan perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban perkosaan itu sangat berkaitan dengan perlindungan identitas si anak dari pemberitaan media massa. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 64 ayat (3) butir b yang berbunyi ‘upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi’. Adapun yang dimaksud dengan labelisasi adalah tindakan yang memberikan image atau kesan tersendiri dari masyarakat yang akan menimbulkan suatu penilaian dari masyarakat terhadap anak korban perkosaan.
“Upaya pencegahan terhadap anak korban kejahatan perkosaan dalam pemberitaan media massa dengan cara memberikan pemahaman kepada jurnalis atau wartawan untuk memahami produk hukum, peraturan tentang anak, dan hak dasar anak. Jurnalis harus diberikan pelatihan khusus dalam mewawancarai anak korban perkosaan,” jelasnya.
Dikatakannya, perlu adanya kerjasama yang baik antara lembaga negara seperti KPAI, KPI, Dewan Pers dan Kepolisian dalam penanganan perlindungan hukum pencegahan stigmatisasi terhadap anak korban kejahatan. Dalam Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik juga menyebutkan bahwa wartawan Indonesia untuk tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan asusila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
“Tidak hanya media masa, peran penting juga harus dipahami oleh publik untuk melindungi identitas korban seksual. Karena, setiap publik di era sekarang memiliki media sendiri melalui media sosial masing-masing. Untuk itu, kesadaran publik terhadap perlindungan terhadap korban kekerasan seksual juga perlu ditingkatkan,” sambungnya.

Ia berharap masyarakat lebih bijak dalam menggunakan sosial media terutama menjaga identitas korban kekerasan seksual. Mengingat, kasus kekerasan seksual pada anak yang tercatat Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Jateng cukup tinggi.
“Pada 2017, kasus yang melibatkan anak mencapai 1.337 kasus. Sementara pada 2018 terdapat 424 kasus,” sebutnya. (teguh/ariel)