PELAKU USAHA. Komisi B DPRD Provinsi Jateng berdiskusi dengan KPPU Wilayah VII Jateng & DIY di Kota Yogyakarta, Selasa (26/4/2022), membahas produktivitas pelaku usaha. (foto gerard arnez)
YOGYAKARTA – Guna mencari informasi mengenai tugas pokok dan fungsi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Wilayah VII Jateng & DIY, Komisi B DPRD Provinsi Jateng menyambangi Kantor KPPU di Kota Yogyakarta, Selasa (26/4/2022). Komisi B menilai informasi tersebut penting untuk diketahui agar nantinya dapat diteruskan ke sektor UMKM dalam rangka peningkatan produktifitas usahanya.
Saat berdiskusi, Wakil Ketua Komisi B DPRD Provinsi Jateng Sri Marnyuni berharap ada kesungguhan dari KPPU untuk mengawasi kemitraan UMKM. Karena, kerapkali menjumpai permasalahan dimana kondisi kinerja UMKM belum dikelola secara maksimal seperti target pasar yang tak menentu, pangsa pasar yang rendah, tenaga kerja kurang terampil, dan manajemen pengelolaan kurang efektif.
“Sejauh manakah UMKM di Jateng mendapat perhatian dan perlindungan Pemerintah. Sebab, produktivitas UMKM kita masih tergolong rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan besar. Maka dari itu, besar harapan agar pemerintah segera menentukan langkah strategis untuk meningkatkan produktivitas UMKM. Ditambah dengan kondisi pandemi yang akan membahayakan perekonomian,” jelas Politikus PAN itu.
Sementara, Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jateng Mukafi Fadli mengatakan selama ini belum terlihat adanya kasus mengenai kemitraan yang sudah diputus oleh KPPU. Ia berharap sebaiknya semangat pengawasan kemitraan itu bisa terhimpun demi memajukan usaha semua pihak, tidak hanya di pihak usaha besar tapi juga usaha kecil dan menengah.
Karena, sesuai UU Nomor 20 Tahun 2008 jo PP Nomor 17 Tahun 2013, regulasi itu memberikan kewenangan kepada KPPU untuk mengawasi kemitraan usaha yang dilakukan pelaku usaha kecil dengan menengah/ besar atau antara pelaku usaha menengah dengan besar. “Tujuannya agar pelaku usaha yang lebih kuat atau besar tidak menguasai atau memiliki mitranya yang lebih lemah/ kecil,” kata legislator dari PKB itu.
Menanggapi hal itu, Kepala Bidang Kajian Advokasi Kanwil VII KPPU Maryunani Shinta Hapsari menjelaskan bahwa kehadiran KPPU berperan sebagai lembaga independen yang mempunyai wewenang untuk mengawasi praktik usaha koperasi dan usaha kecil. Hal itu menggelindingkan suatu persepsi bahwa sudah semestinya para pelaku usaha UMKM harus mendapat perlindungan dan pengetahuan agar tidak dirugikan oleh aksi-aksi pelaku usaha besar yang bergerak pada satu pasar yang sama.
“Peran pelaku usaha kecil dan menengah tak hanya sebatas pada ritel tradisional, mereka juga dapat menjadi pemasok pada pelaku usaha yang besar tertentu dengan menjalin hubungan kemitraan. Mereka (baik para pelaku UMKM maupun pelaku usaha besar) harus paham apa saja yang harus dilakukan,” jelas Maryunani.
Dalam mewujudkan kemitraan yang sehat, lanjut dia, terdapat prinsip dasar dari kerjasama usaha yaitu saling membutuhkan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Sehingga, kemitraan yang terjalin tidak dibentuk atas dasar paksaan atau tekanan salah satu pihak.
Maka, untuk memudahkan pengawasan terhadap kemitraan, KPPU meminta untuk menuangkan kesepakatan dalam perjanjian tertulis. Di dalamnya harus mencakup sedikitnya mengenai kegiatan usaha, hak dan kewajiban, pola pengembangan, jangka waktu, dan tata cara penyelesaian perselisihan.
Jika nantinya dalam praktik dijumpai hubungan kemitraan yang menyalahi aturan, maka KPPU dapat menindaklanjutinya sesuai aturan. Yakni, Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengawasan dan Penanganan Perkara Kemitraan. Sanksi sendiri bukanlah tujuan utama dari KPPU.
“KPPU memberikan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti bersalah, jika pelaku usaha tersebut tidak mempunyai itikad baik untuk memperbaiki kesalahan dan perilaku yang tidak benar. Sebagaimana mekanisme KPPU yang digadang-gadang oleh masyarakat yaitu untuk dapat secara optimal mengedepankan advokasi agar masyarakat selalu merasa mendapat bimbingan dan pengawasan,” terangnya. (arnez/ariel)