FOTO BERSAMA : Komisi E berfoto bersama saat berada Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TPAKK) “Rekso Dyah Utami” milik Pemprov DI Yogyakarta.(foto: tri nugrahini)
YOGYAKARTA – Komisi E DPRD Jateng pada Rabu (21/8/2024), berkesempatan mengunjungi Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TPAKK) “Rekso Dyah Utami” milik Pemprov DI Yogyakarta.
Kunjungan itu dimaksudkan untuk membahas sekaligus upaya penanganan kekerasan pada perempuan dan anak yang sedang marak terjadi. Dalam sejumlah kasus perempuan dan anak menjadi pihak yang rentan terhadap kekerasan yang dapat mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan baik fisik, psikis, seksual dan penelantaran.
Diungkapkan Ketua Komisi E Abdul Hamid, diakuinya untuk saat ini kasus perundungan, tindakan persekusi yang terjadi melalui media sosial sedang banyak terjadi.
“Dinas Perlindungan Anak dan Perempuan supaya dapat menghadirkan materi pemenuhan akan informasi yang tetap pada jalurnya dan bagaimana cara penanganan dan recovery yang dihadirkan kepada korban baik dari sisi psikologis dan juga sisi perlindungan hokum,“ ucapnya.
Sementara Koor Bid Kesehatan P2TPAKK “Rekso Dyah Utami” Prov. DI Yogyakarta Dr Yuliaty Iskak menerangkan, Pemprov DIY diamanatkan Pergub No 5/5019 untuk membentuk sebuah lembaga nonstruktural yang bertugas untuk menyediakan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di wilayah DIY.
“Sesuai amanat pergub tersebut dibentukkan Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Rekso Dyah Utami. Untuk anggaran diamdilkan dari APBD atau hibah,” jelas dia.
Untuk pelayanan dalam mengatasi kekerasan perempuan dan anak di daerah ini (khusus warga DIY dan juga masyarakat yang ber- KTP DIY) dibentuklah unit-unit untuk memudahkan dalam penanganan korban kekerasan.
“Bahkan supaya penanganan lebih cepat dihadirkanlah pelayanan mobil keliling untuk menjemput para korban supaya cepat tanggap untuk mengamankan terlebih dahulu,” ucap Yuliaty Iskak.
Untuk pendampingan korban pihaknya telah memiliki tiga pengacara dan beberapa pendamping shelter bidang psikologis. Sejumlah kasus yang sudah tertangani pada 2023 ada 13 kasus, 2024 (3 kasus), lintas prov (13 kasus).
“Faktor pemicu, perkembangan IT, Open BO yang terjadi pada siswa SMP. Layanan bersifat gratis,” ucap dia.
Yuliaty pun secara panjang lebar menjelaskan perihal sejumlah kasus yang ditangani. Hanya saja yang menjadi catatan penting dan perlu didiskusikan adalah belum bisa secara cepat dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dari pihak kepolisian terkadang menyatakan ketika belum ada foto bagian dada dan bagian bawah manusia, hal itu belum bisa dikatakan bagian dari pornografi. Maka penanganan kasus kekerasan seksual belum bisa dirantas secara cepat.
“DPRD pun sebagai wakil rakyat juga semestinya ikut rembuk menyelesaikan permasalahan kekerasan seksual yang kerap menjadikan perempuan dan anak sebagai korban,” tegasnya.(hini/priyanto)