BICARA MUSEUM. Abdul Azis membahas Museum Islam Nusantara Lasem dalam ‘Dialog Proaktif DPRD Provinsi Jateng, Selasa (8/3/2022), di Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang. (foto ayu utaminingtyas)
REMBANG – Melihat bangunan Museum Islam Nusantara Lasem, kita bakal teringat dengan bangunan Rumah Gadang asli Sumatera Barat. Di tiap jendela kayu jatinya, terukir ayat Al Quran yang menjadi daya tarik tersendiri untuk museum yang berada di Lasem Kabupaten Rembang.

Demikian disampaikan Abdul Azis, Wakil Ketua Komisi E DPRD Provinsi Jateng, dalam ‘Dialog Proaktif DPRD Provinsi Jateng, baru-baru ini. Ia mengatakan bangunan museum itu terdiri dari 3 lantai dan terletak di kompleks Masjid Jami’ Lasem. Didalamnya berisi sejumlah jejak sejarah Islam dalam beragam penemuan peninggalan berupa sejumlah arsip dan benda-benda lainnya.
“Museum itu dibangun untuk mengenang sejarah Lasem dimana ada tiga fase sejarah peradaban islam yaitu pertama fase akhir abad 15 dimana ada peran Walisongo termasuk di dalamnya Sunan Bonang yang masuk ke Lasem untuk menyiarkan agama islam. Kedua, fase abad ke 17 ada sosok Mbah Sambu selaku tokoh penting yang menurunkan genologi nasab keilmuan agama hampir ke seluruh pelosok Jawa. Dan terakhir, fase abad 19 yang memunculkan tokoh-tokoh kharismatik seperti Mbah Maksum, Mbah Baedowi, dan juga Mbah Kholil yang ketiganya berdakwah melalui pesantren,” jelas Abdul Azis.
Secara progres, 70% pengerjaan museum itu merupakan berasal dana aspirasi APBD Provinsi Jateng dan selebihnya dari dana Masjid Jami’ Lasem. Selaku takmir masjid, Abdul Muid berharap, museum tersebut bisa secepatnya selesai pada tahun ini.
“Untuk pengerjaan ukir ayat Al Quran itu sendiri, langsung mendatangkan ahli ukir dari Jepara,” kata Abdul Azis.

Dikatakan Abdul Azis, museum itu tidak berada di lingkungan kaum muslim karena di belakang bangunannya merupakan daerah pecinan. Tercatat, ada 200 lebih bangunan Tionghoa kuno, salah satunya adalah Rumah Merah, yang bisa diakses semua masyarakat. Ia berharap daerah pecinan tersebut bisa masuk dalam kategori bangunan cagar budaya.
”Ciri dan identitas serta toleransinya layak dan patut untuk dilestarikan dan itu merupakan bagian dari peninggalan Lasem,” ujarnya.
Soal Lasem sendiri, lanjut dia, merupakan Kota Pusaka dan juga Kota Toleransi dimana keharmonisan antara Tionghoa, Arab, dan pribumi terjalin sudah ratusan tahun. Berbicara tentang Lasem tidak akan pernah lepas dari yang namanya batik.

Menurut Mujiono selaku pengrajin batik sekaligus pemilik galeri Batik Samudra Artha ciri khas Batik Lasem tersebut adalah batik tulis Tiga Negeri dimana ada 3 warna yaitu merah, biru, dan coklat. Batik tulis Tiga Negeri khas Lasem itu dijual dengan harga yang bervariasi menurut tingkat kesulitan membatiknya yakni kisaran harga Rp. 700.000 sampai jutaan dan bahkan ada yang harganya lebih dari Rp 10 juta.
“Dahulu, membuat Batik Lasem Tiga Negeri itu harus ke Solo untuk mendapatkan warna biru, ke Pekalongan untuk warna coklat, dan warna merah di Lasem sendiri. Namun sekarang, pembuatan Batik Lasem tersebut semuanya diproses disini sehingga tidak harus ke Pekalongan dan Solo lagi,“ kata Mujiono.
Dalam hal ini, Abdul Azis sangat mendukung keberadaan Batik Lasem tersebut dengan cara mempromosikannya. Dengan promosi itu, harapannya Batik Lasem lebih dikenal masyarakat luas agar berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat setempat.

Rangkaian kegiatan lainnya, Abdul Azis menyempatkan diri untuk mengajar para santri putri di rumahnya. Santri tersebut merupakan santri mukim di Ponpes Al Hamidiyah Lasem yang merupakan yayasan milik keluarga. Disana, terdapat lembaga pendidikan SDIT, SMPIT, dan SMK dengan total siswa mencapai 1.500-an. (ayuutami/ariel)